Niskala Kami Yang Tak Akan Pudar
Memang ada, harus ada hari dimana semua perasaan tersampaikan. Ucap sayang, afirmasi serta rasa terima kasih yang entah disalurkan lewat bibir atau air mata yang mengalir haru. Mungkin di kesempatan bercerita dan berekspresi kali ini, ada ratusan kata yang akan tercetak di buku namun tertuju hanya pada si Niskala kesayanganku dan saudaraku. Pandangan bagaimana aku memiliki banyak kesimpulan mengenai Ibuku di bulan Desember ini.
Kala itu diriku masih sungkan. Beliau terlihat garang dengan logat yang kencang. “Memang begitu” kata beliau seolah mendengar kata hatiku. Namun lakunya lembut dan telaten; saat menyisir rambutku yang hendak dibawa ke sekolah dasar, membersihkan sisa makanan di sudut bibirku, apa apapun itu halus dan penuh sayang.
Aku sempat mengira rasa sayang itu tak akan terucap lewat untaian kata demi kata, namun aku terlampau salah. Saat helaan nafas karena umurku lewat dari 15, beliau sudah kepalang luar biasa. Bertanya dan bercerita tentang hari di sekolah, juga apa saja yang beliau lakukan di waktu-waktu senggang. Selalu kudengar ada lebih dari dua atau tiga cerita, beliau selalu asik menjalani kehidupan yang menurutku pelik.
Padahal beliau kenyang pengalaman. Bercerita antusias kadang merengut sedih, namun semuanya terdengar menarik hati, tak luput satupun. Beliau selalu nampak heroik di tiap ceritanya. Mulai dari jadi pujaan hati, hingga jadi sosok kuat nan mandiri di sudut desa Pulau Seribu Sungai itu.
Tak ada habisnya menyerocos tentang kejadian yang menyelinap ke bilik rumah kita. Beliau sanggupi dengan tawa yang terkadang membuat lupa masalah. “Semua itu perlu disyukuri” beliau sering menyelipkan kalimat itu waktu menyiapkan sarapan untuk kami semua. Walau ekonomi kadang terasa melilit perut, beliau selalu punya cara untuk memperbaikinya. Ketika hidup terasa di ujung tanduk, ketika keluhan kami terasa seperti guyonan anak-anak di tongkrongan, ketika membahas itu semua layaknya hal kecil sembari menggendong si oren kucing kami, beliau selalu tau solusinya.
“Yang penting kamu sehat, mbakmu, masmu” seperti satu pepatah Jawa “Dhemit ora ndulit, setan ora doyan” mungkin pedoman beliau selama ini. Supaya keluarga kecil kami selalu sehat, selamat dan dalam lindungan Allah hingga setan tidak sudi mendekati kami sekeluarga. Lirih beliau berdoa di atas sajadah yang digelar di atas lantai dingin rumah kami. Menengadah penuh pasrah di hadapan Sang Pencipta. Luruh keringat beliau karena lampu ruang tengah menyala terang dan hangat. Keringat itu lebur dan bercampur dengan air mata beliau yang mengalir cepat tanpa perlu dibendung.
Aku sering melihat pemandangan itu saat aku membuka mataku di fajar sejuk, juga kucing-kucing itu masih terlelap dan meringkuk. Pikirku mulai bekerja meski mentari belum menyingsing. Beliau pernah sedih, pasti, saat ini. Apalagi jika keadaan lah penyebabnya, tak dapat dihindari. Aku pun enggan bertanya untuk itu. Beliau juga enggan membuka bilah bibir itu barang sepatah. Tetapi mata kami yang saling bertaut paham bahwa keadaan akan lekas membaik, semoga nanti setelah dinginnya fajar menguap habis berganti dengan sinaran matahari.
Begitu pendek nan singkat namun tidak omong kosong; cara beliau menilai hidup. Menghargai setara sama rata semua anaknya dan enggan meniru yang tak sesuai dengan prinsipnya. Alasan kokohnya mental dan perilaku dari setiap kami, satu dapat didikan, dapat semua. Itu Niskala aku, Niskala mereka, Niskala Kami Yang Tak Akan Pudar sampai kapanpun.